Komunikasi Transendental Menurut
Nina Syam
Pasca Sarjana STAIN Malikussaleh Lhokseumawe
Tarmizi, S.Sos.I, M. Kom.I : 201331027
A. Pendahuluan
Bagi umat muslim, cara
mendekatkan diri pada Allah SWT tentu bermacam-macam, yaitu dengan shalat lima
waktu, berpuasa, shalat sunat, berdzikir, menunaikan zakat, beribadah haji,
infaq, sadaqah, dan sebagainya. Semua itu adalah bentuk ibadah, yang dilakukan
oleh umat muslim untuk mencari ridho Allah SWT. Ketika kita melakukan shalat
sesungguhnya kita sedang melakukan komunikasi dengan Tuhan. Tuhan bertindak sebagai
komunikan (penerima pesan) dan kita bertindak sebagai komunikator (pengirim pesan).
Pada saat itu sebenamya tidak ada pembatas antara manusia dengan Allah SWT.
Komunikasi
langsung terjadi asal kita benar-benar punya keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT
ada di hadapan kita sedang memperhatikan dan mendengar doa kita. Takbir, ruku’,
dan sujud adalah bentuk tawadhu’ kita pada-Nya, memasrahkan seluruh jiwa
dan raga kita pada Allah SWT.
Dalam
shalat kita berkonsentrasi penuh kepada Tuhan, seolah-olah kita sedang melihat Tuhan.
Sebagaimana hadist Nabi SAW yang berbunyi:
أَنْ
تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ
يَرَاكَ
Artinya:
“Engkau
beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Allah. Jika kamu tidak
melihat-Nya, yakinkan bahwa Allah melihat engkau.”(HR: Muslim: 10).
Dari
hadis tersebut, dapat dipahami bahwa dalam beribadah kepada Allah, baik shalat,
berdoa, maupun berzikir, kita harus konsentrasi penuh seolah-olah sedang berdialog
langsung dengan Allah. Komunikasi spiritual antara manusia dan Tuhan, bila direnungkan
secara seksama, sesungguhnya dipengaruhi oleh suara hati kita yang bersih.
Suara
hati kita yang bersih inilah yang disebut kecerdasan spiritual. Khusus tentang
berdoa, sesungguhnya kita sedang meminta dan memohon kepada
sesuatu yang lebih dari manusia,
yaitu Tuhan (Allah). Ketika sedang memohon, kita sedang berkomunikasi secara
transendental. Bahkan doa yang sering diucapkan oleh kaum muslimin dan muslimat
setelah shalat:
!$oY/u $oYÏ?#uä Îû $u÷R9$# ZpuZ|¡ym Îûur ÍotÅzFy$# ZpuZ|¡ym $oYÏ%ur z>#xtã Í$¨Z9$# ÇËÉÊÈ
Artinya:
"Ya
Allah, berilah kami kebaikan didunia dan kebaikan di akhirat dan
perihalalah kami dari siksa neraka" (QS. Al-Baqarah: 201).
Banyak
lagi dalam ayat-ayat Al-Quran yang senada dengan doa-doa tersebut. Seperti
firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 177, yang berbunyi:
* }§ø©9 §É9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr @t6Ï% É-Îô³yJø9$# É>ÌøóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §É9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm Írs 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4q2¨9$# cqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§Ø9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)GßJø9$# ÇÊÐÐÈ
Artinya:
“Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya
kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikat-malaikat,
Kitab-kitab, Nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba
sahaya, menegakkan Shalat, dan menunaikan Zakat, dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(beriman) dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah
ayat: 177).
Shalat
yang dilakukan dengan dzikir dan doa akan sangat membantu menenangkan hati,
jiwa dan raga kita sehingga gerak langkah kita hidup di dunia adalah atas dasar
tutunan-Nya. Kita harus yakin bahwa tutuntan dan perlindungan Allah SWT dapat
membuat hidup kita penuh makna untuk bekal di dunia dan akhirat sebagai perwujudan
dari komunikasi transendental yang efektif.
Dari
pemaparan di atas, kita sudah memiliki gambaran apa sebenarnya komunikasi
transendental. Pertanyaan selanjutnya adalah apa feedback dari
komunikasi transcendental, apa efek yang diharapkan dari komunikasi
transendental bagi mereka yang melakukannya, bagaimana pemikiran Nina Syam
tentang komunikasi transendental dan apa yang perlu dikritik dari pemikiran
Nina Syam.
B. Landasan Teoritis
1. Pengertian Komunikasi Transendental
Dalam disiplin Ilmu Komunikasi,
bentuk pendekatan diri pada Sang Maha Pencipta disebut komunikasi
transendental. Komunikasi transendental adalah komunikasi yang dilakukan atau
yang terjadi antara manusia dengan Tuhannya. Jadi, partisipan dalam komunikasi
transendental adalah Tuhan dan manusia.
Komunikasi
transendental memang tidak pernah dibahas secara luas, cukup dikatakan bahhwa
komunikasi transendental adalah komunikasi antara manusia dengan Tuhan, dan
karenanya masuk dalam bidang agama. Komunikasi islam dikatakan transendental
karena area pembahasannya menyangkut hal-hal yang transenden selain area
empirik yang terjadi pada masyarakat muslim.
2.
Proses Komunikasi Transendental
Proses
komunikasi spiritual bermula
dari Allah (sumber dari segala sumber) kemudian memberikan pesannya kepada
manusia. Pesan verbal (Al-Quran) diberikan oleh Allah lewat media-Nya Al-Quran
melalui perantaraan Malaikat dan Nabi Muhammad, untuk diajarkan kepada manusia.
Pesan nonverbal berupa wujud fisik dari alam yang secara langsung diperlihatkan
kepada manusia. Pesan-pesan tersebut kemudian direspon oleh manusia dalam
bentuk ibadah dan ingkar (kafir), dan Allah pun meresponnya dengan bentuk
ganjaran (pahala dan dosa).
3.
Tujuan Komunikasi Transendental
Tujuan utama
berkomunikasi antara manusia dan Tuhan yaitu:
a. Peningkatan kualitas iman dan taqwa
b. Peningkatan kualitas ibadah
c. Peningkatan kualitas akhlak
d. Tercapainya perdamaian hakiki
e. Keselamatan dunia akhirat
4. Prinsip-prinsip Komunikasi Transendental
Prinsip-prinsip komunikasi
spiritual diadopsi dari Asmaul-Husna meliputi:
a. Al-Quddus
(Maha suci)
Maksudnya Allah itu Mahasuci dari aib dan yang terpelihara dari semua yang
tidak layak. Sifat Al-Quddus ini Allah hembuskan kepada manusia sehingga
manusia memiliki potensi untuk bersih dsri segala kotoran-kotoran batin seperti
lalai dalam mengingat Allah, tidak ikhlas, ujub, gila dunia dan lain
sebagainya.
b. Al-lathiif
(Maha lembut)
Maksudnya Allah maha mengetahui segala sesuatu yang sangat kecil, dan
menurunkan ramat-Nya dengan cara yang sangat halus dan lembut.
c. Al-Mu’min (Maha jujur)
Artinya Allah terpercaya (jujur) dalam segala hal, terpercaya karena
Firman-Nya, kekuasaan-Nya, dan janji-Nya.
d. As-shabuur
(Maha sabar)
Ibnu Qoyyim mengatakan: “Nama ash-Shabuur adalah bentuk mubalaagah (mengandung
arti sangat). Kesabaran Allah sangat berbeda dengan kesabaran makhluk dan tidak
ada seorang pun yang menandingi kesabaran-Nya dalam segala hal.
e. Al-Fattah
(Maham Membuka Hati)
Allah membuka hati manusia agar manusia mendapat kemudahan dalam berbagai
urusan , sesuatu yang dirasa sempit menjadi terbuka, yang mendapat kesedihan
mendapat bahagia, yang terhina menjadi terangkat derajatnya, dan Allah
membukakan rezeki seluas-luasnya kepada manusia yang dikehendaki.
5.
Komunikasi Transendental Melalui
Amalan-amalan Batin
Komunikasi
spiritual dapat dilakukan melalui amalan-amalan batin, diantaranya yaitu:
a. Sholat
Shalat
bermakna serangkaian kegiatan ibadah khusus atau tertentu yang dimulai
dengan
takbiratul ihram dan diakhiri dengan
salam.
b. Zikir
Zikir
adalah mengingat Allah SWT dengan maksud
untuk mendekatkan diri kepadaNya
c. Berdo’a
Do’a
adalah permohonan kepada Allah yang disertai kerendahan hati untuk mendapatkan
suatu kebaikan dan kemaslahatan yang berada di sisi-Nya.
d. Tafakur
Tafakur
adalah memikirkan dan merenungkan makhluk Allah SWT. Termasuk dalam katagori
makhluk Allah ialah alam semesta beserta segala isi yang dikandungnya.
C. Pembahasan
1. Feedback dari Komunikasi Transendental
Sebagai
partisipan komunikasi transendental yang efektif tentunya hati kita akan mudah
tersentuh begitu melihat bulan dan bintang-bintang yang bertabaran dilangit
pada malam hari karena menganggap bahwa itu bukan sekedar fenomena alam, tetapi
adalah bentuk perwujudan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Juga hati kita akan
mudah tergetar bila mendengar atau menyebut asma Allah. Apabila hati sudah
benar-benar tersentuh, kiti akan menitikkan air mata bahkan menangis tersedu
mengingat betapa kecilnya kita sebagai manusia di hadapan-Nya.
Firman
Allah yang disebut berulang-ulang terdapat dalam surat Ar-Rahman, salah satu
diantaranya pada ayat 13, yaitu: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu
dustakan?” Allah SWT tentu punya maksud dengan menyebut kalimat tersebut berulang-ulang
sampai tiga puluh kali hingga di akhir surat.
Surat
tersebut memberi peringatan kepada manusia untuk selalu ingat akan kebesaran Allah,
akan nikmat yang telah diberikan Allah kepada manusia agar manusia tidak angkuh,
tidak sombong atas apa yang telah diperolehnya. Semua yang dimiliki hanyalah titipan
belaka selama hidup di dunia, karena hidup yang sebenarnya adalah hidup sesudah
mati atau alam akhirat.
Dengan
berpegang pada Al-Qur’an akan makin mendekatkan manusia pada Sang Maha Pencipta
Allah SWT. Apabila manusia sudah mencapai tahap ini, maka yang ingin dilakukan
adalah terus beribadah pada-Nya. Entah itu ibadah shalat yang wajib atau bentuk
ibadah lainnya, seperti shalat sunat, berdzikir. Seringnya frekuensi komunikasi
yang dilakukan antara manusia dengan Tuhannya, akan makin meningkatkan kepekaan
hati manusia terhadap tanda-tanda atau lambang-lambang kebesaran Allah SWT. Bathin
yang telah terasah oleh kalimat-kalimat Allah membuat tidak ada lagi tirai pembatas
antara manusia dengan Tuhannya. Seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Sayyidina
Umar Bin Khattab, berkata : “Hatiku telah melihat Tuhanku karena hijab (tirai) telah
terangkat oleh taqwa. Barangsiapa yang telah terangkat hijab (tirai) antara
dirinya
dan Allah, maka menjadi jelaslah di
dalam hatinya akan gambaran kerajaan bumi dan kerajaan langit”.
Dari
uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan, rupanya dengan ketaqwaanlah akan
mendekatkan manusia dengan Tuhannya. Ketaqwaan seseorang akan tercermin dalam
sikapnya sehari-hari. Hatinya akan mudah tergetar bila mendengar atau menyebut
asma Allah. Selanjutnya dia akan menitikkan air mata, bahkan menangis tersedu
menyadari betapa kecilnya dirinya di hadapan Sang Maha Pencipta. Inilah
feedback dari komunikasi transendental.
2. Efek yang diharapkan dari Komunikasi
Transendental
Efek
yang diharapkan tidak lain dan tidak bukan tentu saja perubahan tingkah laku seseorang
yang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Lebih sabar dan tawakal, setiap langkah
yang diayunkan adalah tuntunan dari Allah SWT.
3. Pemikiran Nina Syam tentang Komunikasi
Transendental
Istilah komunikasi transendental
belum banyak dikaji oleh para pakar komunikasi karena sifatnya abstrak. Nina
Syam melakukan terobosan baru diluar kebiasaan para ilmuan barat, bahkan jauh
melebihi jangkauan para pakar komunikasi di negeri ini yang relatif lebih
senior dan berpengalaman. Keberaniannya dalam mengembangkan ilmu komunikasi
transendental merupakan fenomena yang menarik
dan membanggakan.
Fenomena yang dikembangkan merupakan
fenomena yang umum yang muncul pada awal abat ke 21, yaitu kembalinya manusia
ke alam sadar dengan mengakui agama sebagai suatu problem solver dalam
kehidupan dan pemberi pencerahan di saat galau dan penuh kegelapan.
Berdasarkan hal di atas, maka Nina
Syam merupakan salah satu pakar yang melakukan pengkajian lebih mendalam
mengenai komunikasi transendental yang belum pernah dibahas sebelumnya oleh
pakar-pakar dari barat. Dengan terobosan barunya itu, maka dapat memberikan
kontribusi pemikirannya kepada kita sebagai makhluk manusia yang selalu
melakukan komunikasi transendental
dengan Tuhan setiap harinya.
Untuk memahami komunikasi
transendental secara ilmiah, maka dapat ditelusuri dari berbagai disiplin ilmu
yang mempengaruhinya salah satunya seperti filsafat islam. Untuk lebih jelasnya
maka penulis memberikan defenisi apa itu hakikat filsafat islam yang sebenarnya
menurut beberapa pakar.
a. Hakikat Filsafat islam
Menurut Mustafa Abdurraziq, dapat
dilihat dari kata pemaknaan
hikmah dan
hakim dalam bahasa arab
yang sama dengan arti filsafat dan falsafah;
hukuma al-islam atau falasifah
al-islam. Asal makna kata hikmah adalah tali kendali. Jadi kata hikmah itu
dalam arti pengetahuan atau kebijaksanaan.
Menurut Sadr al-Din Shirazi,
filsafat Islam adalah upaya melakukan interprestasi rasional terhadap alam
semesta sebagai sebuah kesatuan yang sistematis, yang bertujuan sebisa mungkin
meniru kebenaran Allah. Kebenaran yang datang dari Allah itu adalah benar dan
mutlak adanya.
Dengan demikin filsafat islam
adalah pencarian kebenaran akhir, sekaligus merupakan keyakinan yang berakar
kepada kebutuhan praktis menusia baik materi maupun spiritual. Kajian filsafat
islam terdiri dari: filsafat tentang Tuhan, filsafat tentang manusia (ruh), dan
filsafat tentang alam.
b. Memahami Komunikasi Transendental
Nina Syam
Menurutnya, filsafat islam
yang dapat memengaruhi komunikasi transendental bisa di telusuri dari dimensi
transendental yang ada dalam diri manusia yaitu: ruh, qolb, aql,
dan nafs.
1) Ruh
Ruh yang dimaksud Nina adalah
ruh yang bermakna al-latifhah, yang berpotensi untuk mengenal dan
mengetahui sesuatu (yang abtrak). Jika kita ingin mengenal diri kita, ketahuilah
bahwa kita terdiri dari dua hal, yaitu hati dan apa yang dinamakan dengan jiwa
(ruh). Oleh karena itu, kita harus melakukan mujahadat (berjuang)
sehingga dapat mengenali ruh (nyawa). Ruh merupakan unsur mulia dan anasir
malaikat yang sumber asalnya adalah hadirat Illahi. Dari tempat itu dia datang
dan kepada-Nyalah dia akan kembali.
2) Qolb
Qolb dalam pandangan
Nina sama seperti qolb dalam konsep Al-Ghazali, bahwa qolb memiliki dua
makna yaitu:
a) Daging yang berbentuk sanubari (hati), yang
terdapat di bagian kiri dada, dimana yang didalamnya terdapat rongga yang
berisi darah hitam. Dalam rongga itulah terletak sumber atau pusat ruh.
b) Sesuatu
yang sangat halus (al-lathifah), tidak kasat mata dan tidak dapat diraba.
Untuk mengenal Allah, hati memerlukan kendaraan dan bekal.
Kendaraannya adalah badan dan bekalnya adalah ilmu. Sementara itu yang dapat
mengantarkan dan memperoleh bekal adalah kebaikan. Jadi seorang hamba ia tidak mungkin
sampai kepada Allah SWT selama dirinya tidak meninggalkan kecenderungan-kecenderungan
syahwat dan melampaui kehidupan dunia.
3) Aql
Kata akal memiliki beberapa
arti antara lain adalah sebagai pengetahuan tentang hakikat sesuatu, dimana ia
sebagai sifat dari ilmu dan bertempat di hati
sebagai bagian dari manusia yang memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu
pengetahuan. Dalam setiap diri seseorang terdapat unsur pengetahuan yang
menempati sebuah wadah, dan pengetahuan itu merupakan sifat yang melekat pada
wadah tersebut.
4) Nafs
Kata nafs memiliki
beberapa persamaan seperti: nafsu, seksual, jiwa, dan sebagainya. Namun dalam
kontek ini Al-Ghazali hanya membatasi kedalam dua makna. Pertama, meliputi
kekuatan emosi, amarah, dan syahwat yang terdapat pada diri manusia. Kedua,
al-Lathifah seperti yang telah dibicarakan sebelumnya. Ia adalah sesuatu
yang abstrak, yang membentuk diri manusia, yakni jiwa manusia (an-Nals
al-Insani) dan esensinya. Jiwa manusia yang dimaksudkan di sini adalah
konstruksi dari sifat-sifat nafsu yang cenderung berbeda-beda, sesuai dengan
perbedaan kondisi yang membangunnya. Jika jiwa manusia itu tenang, berada di
bawah kendali perintah Allah swt, ia mampu menyingkirkan goncangan-goncangan
yang diakibatkan daya tarik syahwatnya. Jiwa semacam itu dinamakan dengan jiwa
yang tenang (an-Nals al-Muthmainah).
Nafs pada makna yang pertama
tersebut sebelumnya sulit dibayangkan akan kembali kepada Allah SWT, bahkan ia
dijauhkan sejauh-jauhnya dari Nya, dan digolongkan dalam kelompok setan. Jiwa
yang selalu gelisah karena selalu berseberangan dengan gejolak syahwatnya, dinamakan
jiwa yang senantiasa mengecam (an-Nafs al-Lawwamah). Sebaliknya, jika
jiwa itu membiarkan pengembaraan syahwatnya dan tunduk kepada bisikan setan,
dinamakan jiwa amarah (an-Nafs al-Amarah), yakni jiwa yang selalu
mengajak kepada keburukan.
Dengan demikian menurut penulis dapat
dipahami bahwa nafsu amarah adalah nafsu dalam arti yang pertama, sebagai nafsu
yang tercela. Sedangkan nafsu dalam arti yang kedua adalah terpuji, karena ia
adalah jati diri dan esensi manusia, yang memiliki kemampuan untuk mengenal
Allah SWT lebih jauh. Keempat dimensi inilah yang menjadi landasan Nina Syam untuk
mengembangkan komunikasi transendental.
4. Kontribusi Pemikiran
Bardasarkan pemikiran Nina
tersebut, ada tiga hal penting yang perlu di kritik, diantaranya:
a. Dimensi-dimensi
transendental dalam filsafat islam. Yang meliputi ruh, qolb, aql,
dan nafs.
b.
Belum jelasnya wahyu dalam komunikasi transendental. Dalam pandangan islam
apalagi tasawuf islam, karena wahyu adalah sumber pengetahuan yang dapat
memengaruhi komunikasi transendental karena posisi akal tidak bisa menjangkau
semua yang di inginkan oleh manusia, seperti pendapat kaum mu’tazilah bahwa
tidak semua yang baik dan buruk dapat diketahui oleh akal. Dengan demikian
wahyu dapat menyempurnakan akal tentang baik dan buruk.
c. Sasaran
(komunikan) dalam komunikasi transendental.
Siapakah sasaran dalam komunikasi transendental apakah Tuhan, malaikat, jin,
ataukah setan.
D. kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan di atas,
maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Feedback dari
komunikasi transendental adalah dengan menitikkan air mata, bahkan menangis
tersedu menyadari betapa kecilnya diri kita di hadapan Sang Maha Pencipta,
melalui ketaqwaan dan mendekatkan diri kita selalu kepada Allah SWT.
2. Efek yang diharapkan dari komuniaksi transendental
adalah perubahan tingkah laku seseorang yang menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Lebih sabar dan tawakal.
3. Nina Syam melakukan terobosan baru diluar kebiasaan
para ilmuan barat, bahkan jauh melebihi jangkauan para pakar komunikasi di
negeri ini yang relatif lebih senior dan berpengalaman.
4. Hal-hal yang perlu dikritik dari pemikiran Nina Syam
adalah dimensi-dimensi transendental dalam filsafat islam yang meliputi ruh,
qolb, aql, dan nafs, belum jelasnya wahyu dalam komunikasi
transcendental dan sasaran (komunikan) dalam komunikasi transendental.