Selasa, 02 Desember 2014

Komunikasi Transendental Menurut Nina Syam 
Pasca Sarjana STAIN Malikussaleh Lhokseumawe
Tarmizi, S.Sos.I, M. Kom.I : 201331027

A. Pendahuluan
                        Bagi umat muslim, cara mendekatkan diri pada Allah SWT tentu bermacam-macam, yaitu dengan shalat lima waktu, berpuasa, shalat sunat, berdzikir, menunaikan zakat, beribadah haji, infaq, sadaqah, dan sebagainya. Semua itu adalah bentuk ibadah, yang dilakukan oleh umat muslim untuk mencari ridho Allah SWT. Ketika kita melakukan shalat sesungguhnya kita sedang melakukan komunikasi dengan Tuhan. Tuhan bertindak sebagai komunikan (penerima pesan) dan kita bertindak sebagai komunikator (pengirim pesan). Pada saat itu sebenamya tidak ada pembatas antara manusia dengan Allah SWT.
            Komunikasi langsung terjadi asal kita benar-benar punya keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT ada di hadapan kita sedang memperhatikan dan mendengar doa kita. Takbir, ruku’, dan sujud adalah bentuk tawadhu’ kita pada-Nya, memasrahkan seluruh jiwa dan raga kita pada Allah SWT.
            Dalam shalat kita berkonsentrasi penuh kepada Tuhan, seolah-olah kita sedang melihat Tuhan. Sebagaimana hadist Nabi SAW yang berbunyi:

 أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Artinya:
“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Allah. Jika kamu tidak melihat-Nya, yakinkan bahwa Allah melihat engkau.”(HR: Muslim: 10).

            Dari hadis tersebut, dapat dipahami bahwa dalam beribadah kepada Allah, baik shalat, berdoa, maupun berzikir, kita harus konsentrasi penuh seolah-olah sedang berdialog langsung dengan Allah. Komunikasi spiritual antara manusia dan Tuhan, bila direnungkan secara seksama, sesungguhnya dipengaruhi oleh suara hati kita yang bersih.
            Suara hati kita yang bersih inilah yang disebut kecerdasan spiritual. Khusus tentang berdoa, sesungguhnya kita sedang meminta dan memohon kepada
sesuatu yang lebih dari manusia, yaitu Tuhan (Allah). Ketika sedang memohon, kita sedang berkomunikasi secara transendental. Bahkan doa yang sering diucapkan oleh kaum muslimin dan muslimat setelah shalat:
!$oY­/u $oYÏ?#uä Îû $u÷R9$# ZpuZ|¡ym Îûur ÍotÅzFy$# ZpuZ|¡ym $oYÏ%ur z>#xtã Í$¨Z9$# ÇËÉÊÈ
Artinya:
"Ya Allah, berilah kami kebaikan didunia dan kebaikan di akhirat dan perihalalah kami dari siksa neraka" (QS. Al-Baqarah: 201).

            Banyak lagi dalam ayat-ayat Al-Quran yang senada dengan doa-doa tersebut. Seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 177, yang berbunyi:
* }§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>̍øóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4qŸ2¨9$# šcqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sŒÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)­GßJø9$# ÇÊÐÐÈ

Artinya:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, menegakkan Shalat, dan menunaikan Zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (beriman) dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah ayat: 177).

            Shalat yang dilakukan dengan dzikir dan doa akan sangat membantu menenangkan hati, jiwa dan raga kita sehingga gerak langkah kita hidup di dunia adalah atas dasar tutunan-Nya. Kita harus yakin bahwa tutuntan dan perlindungan Allah SWT dapat membuat hidup kita penuh makna untuk bekal di dunia dan akhirat sebagai perwujudan dari komunikasi transendental yang efektif.
            Dari pemaparan di atas, kita sudah memiliki gambaran apa sebenarnya komunikasi transendental. Pertanyaan selanjutnya adalah apa feedback dari komunikasi transcendental, apa efek yang diharapkan dari komunikasi transendental bagi mereka yang melakukannya, bagaimana pemikiran Nina Syam tentang komunikasi transendental dan apa yang perlu dikritik dari pemikiran Nina Syam.

B. Landasan Teoritis
     1. Pengertian Komunikasi Transendental
            Dalam disiplin Ilmu Komunikasi, bentuk pendekatan diri pada Sang Maha Pencipta disebut komunikasi transendental. Komunikasi transendental adalah komunikasi yang dilakukan atau yang terjadi antara manusia dengan Tuhannya. Jadi, partisipan dalam komunikasi transendental adalah Tuhan dan manusia.[1]
            Komunikasi transendental memang tidak pernah dibahas secara luas, cukup dikatakan bahhwa komunikasi transendental adalah komunikasi antara manusia dengan Tuhan, dan karenanya masuk dalam bidang agama. Komunikasi islam dikatakan transendental karena area pembahasannya menyangkut hal-hal yang transenden selain area empirik yang terjadi pada masyarakat muslim.
     2. Proses Komunikasi Transendental     
            Proses komunikasi spiritual bermula dari Allah (sumber dari segala sumber) kemudian memberikan pesannya kepada manusia. Pesan verbal (Al-Quran) diberikan oleh Allah lewat media-Nya Al-Quran melalui perantaraan Malaikat dan Nabi Muhammad, untuk diajarkan kepada manusia. Pesan nonverbal berupa wujud fisik dari alam yang secara langsung diperlihatkan kepada manusia. Pesan-pesan tersebut kemudian direspon oleh manusia dalam bentuk ibadah dan ingkar (kafir), dan Allah pun meresponnya dengan bentuk ganjaran (pahala dan dosa).
     3. Tujuan Komunikasi Transendental    
                   Tujuan utama berkomunikasi antara manusia dan Tuhan yaitu:[2]    
a. Peningkatan kualitas iman dan taqwa  
b. Peningkatan kualitas ibadah     
c. Peningkatan kualitas akhlak     
d. Tercapainya perdamaian hakiki           
e. Keselamatan dunia akhirat
     4. Prinsip-prinsip Komunikasi Transendental    
            Prinsip-prinsip komunikasi spiritual diadopsi dari Asmaul-Husna meliputi:[3]
     a. Al-Quddus (Maha suci)
Maksudnya Allah itu Mahasuci dari aib dan yang terpelihara dari semua yang tidak layak. Sifat Al-Quddus ini Allah hembuskan kepada manusia sehingga manusia memiliki potensi untuk bersih dsri segala kotoran-kotoran batin seperti lalai dalam mengingat Allah, tidak ikhlas, ujub, gila dunia dan lain sebagainya.
     b. Al-lathiif (Maha lembut)          
Maksudnya Allah maha mengetahui segala sesuatu yang sangat kecil, dan menurunkan ramat-Nya dengan cara yang sangat halus dan lembut.
     c.  Al-Mu’min (Maha jujur)          
Artinya Allah terpercaya (jujur) dalam segala hal, terpercaya karena Firman-Nya, kekuasaan-Nya, dan janji-Nya.
     d. As-shabuur (Maha sabar)         
Ibnu Qoyyim mengatakan: “Nama ash-Shabuur adalah bentuk mubalaagah (mengandung arti sangat). Kesabaran Allah sangat berbeda dengan kesabaran makhluk dan tidak ada seorang pun yang menandingi kesabaran-Nya dalam segala hal.
     e. Al-Fattah (Maham Membuka Hati)     
Allah membuka hati manusia agar manusia mendapat kemudahan dalam berbagai urusan , sesuatu yang dirasa sempit menjadi terbuka, yang mendapat kesedihan mendapat bahagia, yang terhina menjadi terangkat derajatnya, dan Allah membukakan rezeki seluas-luasnya kepada manusia yang dikehendaki.
     5. Komunikasi Transendental Melalui Amalan-amalan Batin   
            Komunikasi spiritual dapat dilakukan melalui amalan-amalan batin, diantaranya yaitu:[4]            
     a. Sholat
         Shalat bermakna serangkaian kegiatan ibadah khusus atau tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
     b. Zikir
         Zikir  adalah mengingat Allah SWT dengan maksud untuk mendekatkan diri kepadaNya
     c. Berdo’a
         Do’a adalah permohonan kepada Allah yang disertai kerendahan hati untuk mendapatkan suatu kebaikan dan kemaslahatan yang berada di sisi-Nya.
     d. Tafakur
         Tafakur adalah memikirkan dan merenungkan makhluk Allah SWT. Termasuk dalam katagori makhluk Allah ialah alam semesta beserta segala isi yang dikandungnya.

C. Pembahasan
     1. Feedback dari Komunikasi Transendental
            Sebagai partisipan komunikasi transendental yang efektif tentunya hati kita akan mudah tersentuh begitu melihat bulan dan bintang-bintang yang bertabaran dilangit pada malam hari karena menganggap bahwa itu bukan sekedar fenomena alam, tetapi adalah bentuk perwujudan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Juga hati kita akan mudah tergetar bila mendengar atau menyebut asma Allah. Apabila hati sudah benar-benar tersentuh, kiti akan menitikkan air mata bahkan menangis tersedu mengingat betapa kecilnya kita sebagai manusia di hadapan-Nya.
            Firman Allah yang disebut berulang-ulang terdapat dalam surat Ar-Rahman, salah satu diantaranya pada ayat 13, yaitu: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Allah SWT tentu punya maksud dengan menyebut kalimat tersebut berulang-ulang sampai tiga puluh kali hingga di akhir surat.
            Surat tersebut memberi peringatan kepada manusia untuk selalu ingat akan kebesaran Allah, akan nikmat yang telah diberikan Allah kepada manusia agar manusia tidak angkuh, tidak sombong atas apa yang telah diperolehnya. Semua yang dimiliki hanyalah titipan belaka selama hidup di dunia, karena hidup yang sebenarnya adalah hidup sesudah mati atau alam akhirat.
            Dengan berpegang pada Al-Qur’an akan makin mendekatkan manusia pada Sang Maha Pencipta Allah SWT. Apabila manusia sudah mencapai tahap ini, maka yang ingin dilakukan adalah terus beribadah pada-Nya. Entah itu ibadah shalat yang wajib atau bentuk ibadah lainnya, seperti shalat sunat, berdzikir. Seringnya frekuensi komunikasi yang dilakukan antara manusia dengan Tuhannya, akan makin meningkatkan kepekaan hati manusia terhadap tanda-tanda atau lambang-lambang kebesaran Allah SWT. Bathin yang telah terasah oleh kalimat-kalimat Allah membuat tidak ada lagi tirai pembatas antara manusia dengan Tuhannya. Seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Umar Bin Khattab, berkata : “Hatiku telah melihat Tuhanku karena hijab (tirai) telah terangkat oleh taqwa. Barangsiapa yang telah terangkat hijab (tirai) antara dirinya
dan Allah, maka menjadi jelaslah di dalam hatinya akan gambaran kerajaan bumi dan kerajaan langit”.
            Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan, rupanya dengan ketaqwaanlah akan mendekatkan manusia dengan Tuhannya. Ketaqwaan seseorang akan tercermin dalam sikapnya sehari-hari. Hatinya akan mudah tergetar bila mendengar atau menyebut asma Allah. Selanjutnya dia akan menitikkan air mata, bahkan menangis tersedu menyadari betapa kecilnya dirinya di hadapan Sang Maha Pencipta. Inilah feedback dari komunikasi transendental.
     2. Efek yang diharapkan dari Komunikasi Transendental
            Efek yang diharapkan tidak lain dan tidak bukan tentu saja perubahan tingkah laku seseorang yang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Lebih sabar dan tawakal, setiap langkah yang diayunkan adalah tuntunan dari Allah SWT.
     3. Pemikiran Nina Syam tentang Komunikasi Transendental
            Istilah komunikasi transendental belum banyak dikaji oleh para pakar komunikasi karena sifatnya abstrak. Nina Syam melakukan terobosan baru diluar kebiasaan para ilmuan barat, bahkan jauh melebihi jangkauan para pakar komunikasi di negeri ini yang relatif lebih senior dan berpengalaman. Keberaniannya dalam mengembangkan ilmu komunikasi transendental merupakan  fenomena  yang  menarik  dan  membanggakan.
            Fenomena yang dikembangkan merupakan fenomena yang umum yang muncul pada awal abat ke 21, yaitu kembalinya manusia ke alam sadar dengan mengakui agama sebagai suatu problem solver dalam kehidupan dan pemberi pencerahan di saat galau dan penuh kegelapan. 
            Berdasarkan hal di atas, maka Nina Syam merupakan salah satu pakar yang melakukan pengkajian lebih mendalam mengenai komunikasi transendental yang belum pernah dibahas sebelumnya oleh pakar-pakar dari barat. Dengan terobosan barunya itu, maka dapat memberikan kontribusi pemikirannya kepada kita sebagai makhluk manusia yang selalu melakukan komunikasi transendental  dengan Tuhan setiap harinya.
            Untuk memahami komunikasi transendental secara ilmiah, maka dapat ditelusuri dari berbagai disiplin ilmu yang mempengaruhinya salah satunya seperti filsafat islam. Untuk lebih jelasnya maka penulis memberikan defenisi apa itu hakikat filsafat islam yang sebenarnya menurut beberapa pakar.
     a. Hakikat Filsafat islam
            Menurut Mustafa Abdurraziq, dapat dilihat dari kata pemaknaan hikmah dan hakim dalam bahasa arab yang sama dengan arti filsafat dan falsafah; hukuma al-islam atau falasifah al-islam. Asal makna kata hikmah adalah tali kendali. Jadi kata hikmah itu dalam arti pengetahuan atau kebijaksanaan.            [5]
            Menurut Sadr al-Din Shirazi, filsafat Islam adalah upaya melakukan interprestasi rasional terhadap alam semesta sebagai sebuah kesatuan yang sistematis, yang bertujuan sebisa mungkin meniru kebenaran Allah. Kebenaran yang datang dari Allah itu adalah benar dan mutlak adanya.     
            Dengan demikin filsafat islam adalah pencarian kebenaran akhir, sekaligus merupakan keyakinan yang berakar kepada kebutuhan praktis menusia baik materi maupun spiritual. Kajian filsafat islam terdiri dari: filsafat tentang Tuhan, filsafat tentang manusia (ruh), dan filsafat tentang alam.
     b. Memahami Komunikasi Transendental Nina Syam    
            Menurutnya, filsafat islam yang dapat memengaruhi komunikasi transendental bisa di telusuri dari dimensi transendental yang ada dalam diri manusia yaitu: ruh, qolb, aql, dan nafs.        
     1) Ruh       
            Ruh yang dimaksud Nina adalah ruh yang bermakna al-latifhah, yang berpotensi untuk mengenal dan mengetahui sesuatu (yang abtrak). Jika kita ingin mengenal diri kita, ketahuilah bahwa kita terdiri dari dua hal, yaitu hati dan apa yang dinamakan dengan jiwa (ruh). Oleh karena itu, kita harus melakukan mujahadat (berjuang) sehingga dapat mengenali ruh (nyawa). Ruh merupakan unsur mulia dan anasir malaikat yang sumber asalnya adalah hadirat Illahi. Dari tempat itu dia datang dan kepada-Nyalah dia akan kembali.         
     2) Qolb      
            Qolb dalam pandangan Nina sama seperti qolb dalam konsep Al-Ghazali, bahwa qolb memiliki dua makna yaitu:
     a) Daging yang berbentuk sanubari (hati), yang terdapat di bagian kiri dada, dimana yang didalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam. Dalam rongga itulah terletak sumber atau pusat ruh.[6]          
     b) Sesuatu yang sangat halus (al-lathifah), tidak kasat mata dan tidak dapat diraba. Untuk mengenal Allah, hati memerlukan kendaraan dan bekal.
Kendaraannya adalah badan dan bekalnya adalah ilmu. Sementara itu yang dapat mengantarkan dan memperoleh bekal adalah kebaikan. Jadi seorang hamba ia tidak mungkin sampai kepada Allah SWT selama dirinya tidak meninggalkan kecenderungan-kecenderungan syahwat dan melampaui kehidupan dunia.  
     3) Aql        
            Kata akal memiliki beberapa arti antara lain adalah sebagai pengetahuan tentang hakikat sesuatu, dimana ia sebagai sifat dari ilmu dan bertempat di hati
sebagai bagian dari manusia yang memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan. Dalam setiap diri seseorang terdapat unsur pengetahuan yang menempati sebuah wadah, dan pengetahuan itu merupakan sifat yang melekat pada wadah tersebut. 
     4) Nafs      
            Kata nafs memiliki beberapa persamaan seperti: nafsu, seksual, jiwa, dan sebagainya. Namun dalam kontek ini Al-Ghazali hanya membatasi kedalam dua makna. Pertama, meliputi kekuatan emosi, amarah, dan syahwat yang terdapat pada diri manusia. Kedua, al-Lathifah seperti yang telah dibicarakan sebelumnya. Ia adalah sesuatu yang abstrak, yang membentuk diri manusia, yakni jiwa manusia (an-Nals al-Insani) dan esensinya. Jiwa manusia yang dimaksudkan di sini adalah konstruksi dari sifat-sifat nafsu yang cenderung berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan kondisi yang membangunnya. Jika jiwa manusia itu tenang, berada di bawah kendali perintah Allah swt, ia mampu menyingkirkan goncangan-goncangan yang diakibatkan daya tarik syahwatnya. Jiwa semacam itu dinamakan dengan jiwa yang tenang (an-Nals al-Muthmainah).
            Nafs pada makna yang pertama tersebut sebelumnya sulit dibayangkan akan kembali kepada Allah SWT, bahkan ia dijauhkan sejauh-jauhnya dari Nya, dan digolongkan dalam kelompok setan. Jiwa yang selalu gelisah karena selalu berseberangan dengan gejolak syahwatnya, dinamakan jiwa yang senantiasa mengecam (an-Nafs al-Lawwamah). Sebaliknya, jika jiwa itu membiarkan pengembaraan syahwatnya dan tunduk kepada bisikan setan, dinamakan jiwa amarah (an-Nafs al-Amarah), yakni jiwa yang selalu mengajak kepada keburukan.
            Dengan demikian menurut penulis dapat dipahami bahwa nafsu amarah adalah nafsu dalam arti yang pertama, sebagai nafsu yang tercela. Sedangkan nafsu dalam arti yang kedua adalah terpuji, karena ia adalah jati diri dan esensi manusia, yang memiliki kemampuan untuk mengenal Allah SWT lebih jauh. Keempat dimensi inilah yang menjadi landasan Nina Syam untuk mengembangkan komunikasi transendental.
     4. Kontribusi Pemikiran   
            Bardasarkan pemikiran Nina tersebut, ada tiga hal penting yang perlu di kritik, diantaranya:
     a. Dimensi-dimensi transendental dalam filsafat islam. Yang meliputi ruh, qolb, aql, dan nafs.
     b. Belum jelasnya wahyu dalam komunikasi transendental. Dalam pandangan islam apalagi tasawuf islam, karena wahyu adalah sumber pengetahuan yang dapat memengaruhi komunikasi transendental karena posisi akal tidak bisa menjangkau semua yang di inginkan oleh manusia, seperti pendapat kaum mu’tazilah bahwa tidak semua yang baik dan buruk dapat diketahui oleh akal. Dengan demikian wahyu dapat menyempurnakan akal tentang baik dan buruk.          
     c. Sasaran (komunikan) dalam komunikasi transendental.         
Siapakah sasaran dalam komunikasi transendental apakah Tuhan, malaikat, jin, ataukah setan.

D. kesimpulan
            Berdasarkan dari pembahasan di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.  Feedback dari komunikasi transendental adalah dengan menitikkan air mata, bahkan menangis tersedu menyadari betapa kecilnya diri kita di hadapan Sang Maha Pencipta, melalui ketaqwaan dan mendekatkan diri kita selalu kepada Allah SWT.
2. Efek yang diharapkan dari komuniaksi transendental adalah perubahan tingkah laku seseorang yang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Lebih sabar dan tawakal.
3. Nina Syam melakukan terobosan baru diluar kebiasaan para ilmuan barat, bahkan jauh melebihi jangkauan para pakar komunikasi di negeri ini yang relatif lebih senior dan berpengalaman.
4. Hal-hal yang perlu dikritik dari pemikiran Nina Syam adalah dimensi-dimensi transendental dalam filsafat islam yang meliputi ruh, qolb, aql, dan nafs, belum jelasnya wahyu dalam komunikasi transcendental dan sasaran (komunikan) dalam komunikasi transendental.





               [1] Nina Winangsih Syam, Komunikasi Spiritual, (Bandung: Remaja Rosadakarya, 2006), h. 47
               [2] Ibid., h. 56
               [3]Ibnu Qayyim, Metode Pengobatan Nabi, (Penerjemah, Abu Umar Baasyir, (Jakarta: Griya Ilmu, 2006), h. 151
               [4] Mulyadhi, Reaktualisasi Tradisi Islam. (Jakarta: Baitul Ikhsan, 2006), h. 59
               [5] Mustafa Abdurraziq, Islam dan Tasawuf, (Yogyakarta: Fajar Pustaka , 1999), h. 15
               [6]Al-Ghazali, Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar